“Agama dan Filsafat Bagiku”
Mengapa agama itu penting dan
dibutuhkan manusia? Apa makna dan tujuan agama itu sebenarnya? Dan apakah ada
hubungannya antara ilmu agama dan filsafat? Disinilah semua pertanyaan tersebut
mulai mendapatkan titik terang. Dosen tamu di mata kuliah Humanistic Studies, Saras
Dewi, M. Hum (Kaprodi Ilmu Filsafat UI), telah membuka pemikiran saya tentang
agama dan filsafat. Ilmu filsafat memegang teguh akan prinsip kebebasan dan
ketidak terbatasan. Kontras dengan ilmu agama yang mengajari kita akan adanya
norma-norma yang harus kita patuhi dalam kehidupan kita sebagai individu Tuhan.
Siapa yang menyangka bahwa kedua ilmu yang memiliki perbedaan mendasar ini
sebenarnya memiliki benang merah yang unik dan menarik untuk dibahas. Dengan
mempelajari kedua ilmu ini, kita tidak akan terjebak ke dunia ateitisme maupun
fanatisme. Kedua ilmu ini akan membukaan mata hati kita tentang prinsip hidup,
agama, bahkan siapa dan untuk apa diri kita di dunia fana ini.
Melalui kuliahnya, Ibu Saras Dewi
menyatakan bahwa sebenarnya ada beberapa tokoh yang ikut memberi warna dalam
perjalanan dunia keagamaan dan kefilsafatan di dunia ini, seperti Thomas
Aquinas, Rene Descrates, dan Ibnu Arabi. Mereka memiliki prinsip berbeda
tentang keagamaan dan kefilsafatan yang sampai saat ini digunakan oleh
masyaakat dunia. Thomas Aquinas menganut faham bahwa Tuhan adalah zat tertinggi
yang patut kita pegang teguh dan patuhi. Sebagai hambanya, kita berkewajiban
untuk menjalani perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA tanpa ada bantahan. Sedangkan
Rene Descrates menyatakan hal yang berbeda, dalam melakukan proses keagamaan,
logika juga harus dipertimbangkan. Beliau menggunakan pendekatan falsafat dalam
kehidupan, yang artinya tidak ada satu pun yang tidak rasional dan tidak bisa
dipikirkan seperti Tuhan. Falsafat ini menuntut setiap orang berpikir bebas dan
logis tentang apa-apa saja yang ada dalam kehidupan ini, termasuk Tuhan.
Jika kedua tokoh tersebut (Thomas
Aquinas dan Rene Descrates) mengatakan sesuatu yang bertolak belakang, Ibnu
Arabi muncul sebagai penengah. Beliau menyatakan bahwa falsafat itu tidak bisa
dipisahkan dari agama. Apabila kita berpikir terlalu keras (hanya dengan
mengandalkan logika dan akal), kita akan mencapai titik kegilaan dan ateitisme.
Hal ini dikarenakan, dalam dunia ini memang ada beberapa hal yang tidak bisa di
pikirkan menggunakan akal pikiran manusia yang terbatas. Sedangan kepercayaan
akan prinsip-prinsip agama secara tulen dan kaku akan membuat kita terjebak
dalam fanatisme dan ritualitas tanpa makna. Faktor-faktor inilah yang biasanya
menyebabkan peperangan dan konflik antar agama. Ibnu Arabi menyatakan bahwa
dalam kehidupan beragama, setiap manusia juga harus berfikir secara logis akan
makna, sebab dan akibat agamanya itu ada atau dianut. Manusia dianugerahi akal
untuk berfikir dan manusia harus memanfaatkan anugerah itu. Jangan sampai kita
hanya ikut-ikutan percaya akan konsep keagamaan dan terjebak didalam tanpa
berfikir mengapa dan bagaimana. Agama bukanlah sebatas ritual yang harus
dipercaya dan dilakukan, namun juga diyakini. Nah! Cara kita menyakini hal itu
adalah dengan berfikir. Namun berfikir juga memiliki batas dan manusia harus
menerima kenyataan itu. Disaat kita menemukan sesuatu yang tidak bisa dijangkau
dengan logika, disinilah konsep keagamaan ada. Agama akan membimbing kita untuk
selalu berada pada jalan yang seharusnya. Jadi, konsep keagamaan dan
kefilsatfatan memang saling berhubungan dan perlu ada dalam diri setiap
manusia.
Setelah mengikuti kuliah tersebut,
saya mulai befikir tentang Tuhan saya dan prinsip saya. Saya adalah individu
beragama yang percaya akan kuasa dan kehendak Allah. Saya lahir di keluarga
Muslim tulen (tidak ada perbedaan agama dalam silsilah keluarga dari beberapa
turunan). Mulai kecil saya diajarkan dan diberi keyakinan akan adanya Allah,
Nabi, Malaikat dan Islam. Selain mempelajarinya, saya juga meyakini dan percaya
akan hal tersebut. Selalu ada pencipta dari segala hal bukan? Kalau meja kursi
saja ada pencitnya –tukang kayu, apalagi bumi beserta isinya? Pasti ada, itulah
Allah SWT. Setelah saya mempelajari dan memahami Al-Qur’an, saya semakin
percaya dan yakin akan kuasa Allah dan agama saya. Seperti yang sudah
dijelaskan pada surah Al-Ikhlas:
“Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Katakanlah (Muhammad), Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranank dan tidak pula
diperanakan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Surah
Al-Ikhlas ini saya pegang teguh dalam diri saya. Saya meyakini, memahami dan
mempercayai hal ini. Lahir dalam keluarga muslim bukan berarti menerima ajaran
secara mentah-mentah. Namun tetap ada kesempatan untuk mencerna dan meyakini
dengan cara kita sendiri. Itulah penganut cerdas.
Karena
kepercayaan itulah, saya merasa bahwa Allah selalu ada dalam diri saya,
menemani dan membimbing setiap langkah saya. Saya merasakan keberadaan Allah
dan mengagumi Allah. Tuhan adalah sesuatu yang abstrak, tidak bisa terlihat.
Namun Islam mengajari saya bagaimana merasakan tanpa melihat. Cara saya
memunculkan keberadaan Allah dalam hidup saya adalah dengan selalu mengingat,
menyerahkan diri, dan bersyukur. Saya percaya bahwa apapun yang terjadi dalam
hidup saya ini tidak pernah terlepas dari tulisan indah takdir Allah. Dengan
bersyukur, saya benar-benar bisa merasakan beredaan Allah. Saya merasa seperti
ada sebuah kepuasan dan ketenangan pada diri saya. Saya juga berserah diri pada
Allah, namun tak lupa berusaha. Saya meyakini satu hal, hidup ini, nafas ini,
tubuh ini, perasaan ini, semuanya milik Allah. Allah telah mempercayakannya
pada saya dan saya harus bisa memanfaatkan dengan sebaik dan semaksimal
mungkin. Agama bagi saya bukan sebuah peraturan yang membatasi ruang gerak
saya. Namun justru agamalah yang selalu membimbing saya menuju jalan yang lebih
baik dan benar.
By:
Abida Ahzaryyah (2 Desember 2012)
Comments
Post a Comment